Senin, 16 Agustus 2010

HADITS TENTANG ADZAN PADA TELINGA BAYI

Pada kesempatan kali ini, kita akan mencoba meluruskan pemahaman mengenai sebuah hadits yang amalannya sangat populer dikalangan masyarakat kita. Berikut arti dari Hadits Adzan di telinga kanan si bayi dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin: “Barang siapa dianugrahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin”Hadits ini maudhu.Ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab Amalul Yaumi wal-lailati halaman 200, dan juga Ibnu Asakir II/182, dengan sanad dari Ibu Ya`la bin Ala ar-Razi, dari Marwan bin salim, dari talhah bin Ubaidillah al-Uqali, dari Husain bin Ali.Sanad Tersebut Maudhu` sebab Yahya bin Ala dan Marwan bin Salim deikenal sebagai pemalsu Hadits. Disamping itu, dalam periwayatan hadits diatas ada semacam unsur meremehkan atau mengagampangkan masalah. Hal itu diutarakan oleh al-Haitsami dalam kitab Majma az Zawa`id IV/59, Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya terdapat Marwan bin Sulaiman al-Ghifari, yang oleh muhadditsin riwayatnya ditinggalkan atau tidak diterima.Almanawi pensyarah kitab al-jami`ush shaghir berkata: Hadits ini dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ali alBajali ar-Razi. Adz Dzahabi dalam kitab adh Dhuafa` wal-Matrukin berkata: “Ia pendusta dan pemalsu ” Itulah yang dinyatakan oleh Imam Ahmad.Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani, kepalsuan diatas tidak banyak diketahui ulama. Buktinya banyak ulama kondang yang mengutarakan hadits diatas tanpa menyebutkan kemaudhu`an da kedha`fannya. Hal ini terutama dilakukan oleh ulama penulis atau pembuat kitab kitab wirid atau kitab kitan fadha`il. Misalnya, Imam Nawawi mengungkapkan hadits tersebut dengan perawi Ibnu Sunni. Namun tanpa memberi isyarat atau komentar kedha`ifan dan kemaudhu`an nya.Begitu pula dengan pensyaratan yakni Ibnu Ala. Ia pun tidak menyinggung tentang sanadnya sama sekali. Setelah itu datanglah ulama generasi berikutnya yakni Ibnu Taimiyah yang dapat dilihat dalam kitab al-Kalimuth Thayyib yang diikuti oleh muridnya Ibnu Qayyim yang diutarakan dalam kitab al Wabilush Shayyib. Namun keduanya menyinggung seraya berkata bahwa dalam sanadnya terdapat kedha`ifan.Setelah keduanya, datanglah generasi ulama berikutnya atau bahkan semasa dengan keduanya, tetapi tidak menginggung atau bahkan diam seribu basa dalam mengontari sanad hadits tersebut.Pada prinsipnya, sekalipun keduanya (Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim) telah terbebas dari aib mendiamkan hadits atau riwayat dha`if, namun tetap tidak bebas dari pengungkapan kedha`ifan suatu hadits. Maksudnya, apabila mengetahui kedha`ifan hadits tadi mengapa mereka masih mengutarakannya? Itu berarti hanya merupakan pernyataan kedha`ifan hadits tersebut dan bukannya menunjukan kemaudhu`an nya. Apabila tidak demikian maka sudah sepantasnya kedua imam yang agung itu tidak mengutarakan hadits tersebut diatas. Inilah yang pasti akan di pahami oleh orang orang yang meneliti dan mau menelaah kitab atau karya tulis kedua imam tadi.Yang membuat Muhammad Nasiruddin Al-Albani khawatir ialah para ulama generasi sesudah beliau menjadi terkecoh hingga dengan lantang berkata: “Tidak apa-apa karena hadits dha`if pun dapat dipakai untuk mengamalkan fadha`ilu-a`mal (amalan amalan yang mulia). Yang terjadi kemudian bahkan hadits itu dijadikan penguat hadits dha`if lainnya dengan meremehkan syarat mutlak yang harus ada yaitu hendaknya hadits tersebut tidak terlalu dha`if derajatnya. Sebagai bukti ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanad dha`if dari Abi Rafi` yang berkata: Aku telah melihat Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bil Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah binti Muhammad.Imam Tirmidzi berkata Hadits ini shahih dan hendaknya di amalkan dengan dasar hadits tersebut. kemudian pensyarahnya yakni al-Mubar Kafuri setelah menjelaskan kedha`ifan sanad nya dengan dasar pernyataan para ulama, berkata: Apabila ditanya; bagaimana mungkin dapat diamalkan sedangkan hadits itu dha`if, maka jawabannya ialah: Memang benar hadits tersebut dha`if, akan tetapi menjadi kuat dengabn adanya riwayat lainnya yaitu hadits dari Husain bin Ali, yang di riwayatkan oleh Bau Ya`la al-Maushili dan Ibnu Suni”Coba kita perhatikan, Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau dapat dikuatkan dengan adanya hadits maudhu? Dari mana datangnya kaidah tersebut? Sungguh yang demikian itu tidak ada kamusnya dalam sejarah para muhadditsin pada masa lalu hingga hari Qiyamat nanti. Menurut Muhammad Nasiruddin Al-Albani, yang demikian ini dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal kemaudhu`an hadits Husain bin Ali diatas dan juga karena terkecoh oleh komentar atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal atau ulama yang dianggap menjadi panutan.Memang benar untuk menguatkan hadits Abi rafi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi itu adalah: adanya riwayat atau hadits atau hadits Ibnu Abbas yaitu: “Sesungguhnya Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam telah mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika lahir dan mengumandangkan iqamah pada telinga kirinya. (Hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Baihaqi dalam kitab Syi`b Iman berbarengan dengan hadits Hasan bin Ali)Kemudian Baihaqi berkata: “Kedua hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kedha`ifan”. Pernyataan baihaqi tersebut telah diutarakan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab at-Tuhfah halaman 16.Namun tampaknya sanad hadits ini lebih baik ketimbang sanad hadits Hasan bin ali yang dapat dijadikan kesaksian atau penguat bagi hadits Rafi tadi. Bila demikian masalahnya, maka riwayat inilah sebagai penguat adanya adzan pada telinga sang bayi saat dilahirkan seperti tercantum dalam hadits Rafi riwayat Imam Tirmidzi tadi. Adapun mengenai mengumandangkan iqomah pada telinga kiri adalah riwayat gharib (asing).Namun kita kembali lagi pada pernyataan Imam Baihaqi bahwa “Kedua hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kedha`ifan”. Dan Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau dapat dikuatkan dengan adanya hadits maudhu? yang menurut Muhammad Nasiruddin Al-Albani, yang demikian ini dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal kemaudhu`an hadits tersebut dan juga karena terkecoh oleh komentar atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal atau ulama yang dianggap menjadi panutan. Wallahu a`lam bish showab
(Sumber Rujukan: Silsillah hadits2 dhoif dan maudhu, Hadits NO 321, Asy-Syaikh Nasiruddin Al Albani)

Tidak ada komentar: